Cerpen : Irvan Mulyadie
Sebelum namanya jadi sorotan mediamassa, ia hanya orang biasa. Oknum pegawai pemerintah dengan gaji alakadarnya. Namun dengan semacam uang gacrit dari banyak proyek fiktif itu telah menjadikannya kaya raya. Bahkan segala fasilitas yang dimilikinya pasca ia memegang tampuk jabatan yang ia idam-idamkan semenjak lama, hidupnya seakan-akan penuh pesona. Bahkan bikin ngiler kawan dan lawannya apalagi para tetangga. Namanya Si Rampid. Lelaki paruh baya yang masih ngotot merasa awet muda.
“Kau tahu tidak? Bahwa apa yang telah kudapatkan selama ini adalah hasil perjuangan yang tidak pernah ada hentinya…..” Katanya pada suatu perbincangan di kamar hotel bintang 5. Penuh semangat. Mungkin ia ingin menunjukkan kesuksesannya tersebut pada gadis di bawah umur yang setengah telanjang di sampingnya. Sementara si gadis pura-pura antusias mendengarkan. Bahkan sesekali memuji dengan berlebihan hanya untuk menyenangkan pelanggannya itu.
”....Tapi untuk sampai pada levelku sekarang, banyak cara yang telah kulakukan. Termasuk diantaranya menghimpun kekuatan dalam diri. Sangat sulit. Bagaimana menghilangkan rasa malu dengan menebalkan kulit muka, meluweskan lidah agar mudah menjilat pantat atasan, melipstik bibir dengan pujian dan kebohongan, membekukan tangan agar tahan menerima uang panas, bahkan membunuh perasaan agar tak lagi iba bila pada suatu saat harus mendepak kawan-kawan sejawatan. Dan yang terpenting, jangan pernah merasa puas dengan apa yang telah diraih. Terus tingkatkan kelihaian dalam melobi dan harus licin. Eh, licik maksudku”.
Rampid terus membualkan ocehannya dengan tangan yang sesekali nakal. Mungkin karena pengaruh alkohol. Atau memang karena kepalanya telah begitu pusing karena mabuk kekuasaan.
”Di luar sana, mungkin banyak orang yang iri kepadaku. Hahaha.....hal biasa dan basi itu. Sok suci. Toh kalau ada kesempatan, mereka sendiri akan berbuat sama sepertiku. Bukankah negeri ini memang demikian bobroknya?”
”Mungkin bobroknya negara itu karena orang-orang seperti Om kali, ya” Sindir gadis itu polos.
Rampid tercengang mendengarnya. Tapi ia tidak marah. Bahkan tawanya meledak dengan lepas.
”Betul itu.....inilah yang kumaksudkan dengan harmoni. Tidak ada siang kalau belum ada malam. Begitu pun tiada hujan kalau belum musimnya.....hahaha. Semuanya berpasangan. Negara tanpa orang-orang sepertiku hanya seperti kuburan masal. Polisi dan kejaksaan hanya akan jadi pengangguran terselubung. Punya status tapi tak kerja-kerja. Tapi gak usah kuatir, semua sudah diatur. Meskipun kasus telah masuk pengadilan, banyak markus yang membackup. Yang penting aturan seolah-olah kita jalankan. Administrasi diselesaikan. Aman. Nah sisanya Om sisihkan untuk kamu, Ran”
”Tapi soal seniman itu, gimana Om?”
”Ini dia yang sekarang lagi kupikirkan. Bikin stres saja. Kurang ajar mereka itu. Tidak bisa diajak kerjasama. Dikasi bantuan malah seperti menolong anjing kejepit. Tetep saja ngeyel. Bilang korupsilah, rakuslah, dan segalanya. Coba, kalau saja mereka mau diajak KKN sedikit, mungkin proyek yang kuberikan pada mereka akan mayeng”.
”Memang kenapa? Harusnya ngerti dong. Proyek dengan nilai yang telah tertera dalam pemberkasan jangan dianggap sebagai patokan. Yang penting kan kegiatan mereka jalan. Jumlah 5-15 % dari nilai keseluruhan sudah cukup besar. Sejarah besar bila ada pejabat yang mau membantu kegiatan seniman yang idealis. Persetan dengan pencitraan budaya bangsa. Dasar gila”.
”Kasihan sekali Om ini” Rani lirih seolah-olah ingin turut merasakan penderitaannya. Dibelainya kepala Rampid yang sedikit harééng. Namun dalam hati kecilnya, Rani bersorak-sorai. Sebab atas kelakuan orang-orang seperti Rampid inilah hidupnya berantakan. Kerja sebagai budak nafsu koruptor kampungan. Padahal negaranya sangat kaya dan sangat mungkin sekali menyejahterakan rakyatnya.
***
Seperti peribahasa, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya tikoséwad juga. Begitu pun dengan nasib Rampid sekarang. Kembali ke kantor dari foya-foya dalam liburan panjangnya membuat kepalanya seperti ingin pecah. Di atas meja, beberapa koran membeberkan kebusukannya yang terlanjur tercium dan tak lagi dapat ditutupi. Namun otak liciknya bicara lain. Sebagai senior ia telah banyak makan asam garam. Bahkan pahitnya Batrawali kehidupan. Tapi tidak, ia tak ingin makan batrawali itu lagi.
Bagaimana pun pemberitaan di koran-koran telah membuat jengkel atasannya yang terkenal tak kalah bengalnya dengan para politisi kambuhan. Berbagai cara telah ia lakukan. Mulai dari lobi-lobi normatif hingga pada pendekatan politis. Baginya, perkara yang melibatkan seniman ini seperti kabeureuyan ku cucuk leutik. Salah perhitungan, itulah intinya.
Tapi yang paling konyol adalah ketika ia bermaksud merubah angin opini di masyarakat yang telah lekat menilainya sebagai perompak negara. Sebagai intrik kepahlawanan, maka dikembalikanlah uang hasil korupsinya itu kepada orang yang memang berhak menerimanya. Hanya satu dua orang saja yang sama sekali tak mau menerima. Bukan karena tidak butuh uang tersebut, melainkan karena mereka menilai hal ini sudah sangat salah kaprah.
”Maaf, Pak. Jauh sebelum anda memangku jabatan tersebut, kami telah hidup bersahaja. Dan hati kami sama sekali tidak dapat anda beli. Bukan uang yang sedang kami bicarakan. Tapi prinsip dan beladiri kami terhadap kesewenang-wenangan anda dalam memperlakukan kami sebagai orang kebudayaan. Titik!” tegas Mang Oyon Cuang Cieung dari Sanggar Alim Kabaud.
Rampid bingung. Terbayang olehnya kursi empuk jabatannya yang melayang berganti pantat. Diam-diam hatinya merencanakan sesuatu yang lebih dahsyat. Bunuh diri !!!.
Tsm, 20100318
Sumber http://irvanmulyadie.blogspot.com
Dipublikasikan pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya;
“Kau tahu tidak? Bahwa apa yang telah kudapatkan selama ini adalah hasil perjuangan yang tidak pernah ada hentinya…..” Katanya pada suatu perbincangan di kamar hotel bintang 5. Penuh semangat. Mungkin ia ingin menunjukkan kesuksesannya tersebut pada gadis di bawah umur yang setengah telanjang di sampingnya. Sementara si gadis pura-pura antusias mendengarkan. Bahkan sesekali memuji dengan berlebihan hanya untuk menyenangkan pelanggannya itu.
”....Tapi untuk sampai pada levelku sekarang, banyak cara yang telah kulakukan. Termasuk diantaranya menghimpun kekuatan dalam diri. Sangat sulit. Bagaimana menghilangkan rasa malu dengan menebalkan kulit muka, meluweskan lidah agar mudah menjilat pantat atasan, melipstik bibir dengan pujian dan kebohongan, membekukan tangan agar tahan menerima uang panas, bahkan membunuh perasaan agar tak lagi iba bila pada suatu saat harus mendepak kawan-kawan sejawatan. Dan yang terpenting, jangan pernah merasa puas dengan apa yang telah diraih. Terus tingkatkan kelihaian dalam melobi dan harus licin. Eh, licik maksudku”.
Rampid terus membualkan ocehannya dengan tangan yang sesekali nakal. Mungkin karena pengaruh alkohol. Atau memang karena kepalanya telah begitu pusing karena mabuk kekuasaan.
”Di luar sana, mungkin banyak orang yang iri kepadaku. Hahaha.....hal biasa dan basi itu. Sok suci. Toh kalau ada kesempatan, mereka sendiri akan berbuat sama sepertiku. Bukankah negeri ini memang demikian bobroknya?”
”Mungkin bobroknya negara itu karena orang-orang seperti Om kali, ya” Sindir gadis itu polos.
Rampid tercengang mendengarnya. Tapi ia tidak marah. Bahkan tawanya meledak dengan lepas.
”Betul itu.....inilah yang kumaksudkan dengan harmoni. Tidak ada siang kalau belum ada malam. Begitu pun tiada hujan kalau belum musimnya.....hahaha. Semuanya berpasangan. Negara tanpa orang-orang sepertiku hanya seperti kuburan masal. Polisi dan kejaksaan hanya akan jadi pengangguran terselubung. Punya status tapi tak kerja-kerja. Tapi gak usah kuatir, semua sudah diatur. Meskipun kasus telah masuk pengadilan, banyak markus yang membackup. Yang penting aturan seolah-olah kita jalankan. Administrasi diselesaikan. Aman. Nah sisanya Om sisihkan untuk kamu, Ran”
”Tapi soal seniman itu, gimana Om?”
”Ini dia yang sekarang lagi kupikirkan. Bikin stres saja. Kurang ajar mereka itu. Tidak bisa diajak kerjasama. Dikasi bantuan malah seperti menolong anjing kejepit. Tetep saja ngeyel. Bilang korupsilah, rakuslah, dan segalanya. Coba, kalau saja mereka mau diajak KKN sedikit, mungkin proyek yang kuberikan pada mereka akan mayeng”.
”Memang kenapa? Harusnya ngerti dong. Proyek dengan nilai yang telah tertera dalam pemberkasan jangan dianggap sebagai patokan. Yang penting kan kegiatan mereka jalan. Jumlah 5-15 % dari nilai keseluruhan sudah cukup besar. Sejarah besar bila ada pejabat yang mau membantu kegiatan seniman yang idealis. Persetan dengan pencitraan budaya bangsa. Dasar gila”.
”Kasihan sekali Om ini” Rani lirih seolah-olah ingin turut merasakan penderitaannya. Dibelainya kepala Rampid yang sedikit harééng. Namun dalam hati kecilnya, Rani bersorak-sorai. Sebab atas kelakuan orang-orang seperti Rampid inilah hidupnya berantakan. Kerja sebagai budak nafsu koruptor kampungan. Padahal negaranya sangat kaya dan sangat mungkin sekali menyejahterakan rakyatnya.
***
Seperti peribahasa, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya tikoséwad juga. Begitu pun dengan nasib Rampid sekarang. Kembali ke kantor dari foya-foya dalam liburan panjangnya membuat kepalanya seperti ingin pecah. Di atas meja, beberapa koran membeberkan kebusukannya yang terlanjur tercium dan tak lagi dapat ditutupi. Namun otak liciknya bicara lain. Sebagai senior ia telah banyak makan asam garam. Bahkan pahitnya Batrawali kehidupan. Tapi tidak, ia tak ingin makan batrawali itu lagi.
Bagaimana pun pemberitaan di koran-koran telah membuat jengkel atasannya yang terkenal tak kalah bengalnya dengan para politisi kambuhan. Berbagai cara telah ia lakukan. Mulai dari lobi-lobi normatif hingga pada pendekatan politis. Baginya, perkara yang melibatkan seniman ini seperti kabeureuyan ku cucuk leutik. Salah perhitungan, itulah intinya.
Tapi yang paling konyol adalah ketika ia bermaksud merubah angin opini di masyarakat yang telah lekat menilainya sebagai perompak negara. Sebagai intrik kepahlawanan, maka dikembalikanlah uang hasil korupsinya itu kepada orang yang memang berhak menerimanya. Hanya satu dua orang saja yang sama sekali tak mau menerima. Bukan karena tidak butuh uang tersebut, melainkan karena mereka menilai hal ini sudah sangat salah kaprah.
”Maaf, Pak. Jauh sebelum anda memangku jabatan tersebut, kami telah hidup bersahaja. Dan hati kami sama sekali tidak dapat anda beli. Bukan uang yang sedang kami bicarakan. Tapi prinsip dan beladiri kami terhadap kesewenang-wenangan anda dalam memperlakukan kami sebagai orang kebudayaan. Titik!” tegas Mang Oyon Cuang Cieung dari Sanggar Alim Kabaud.
Rampid bingung. Terbayang olehnya kursi empuk jabatannya yang melayang berganti pantat. Diam-diam hatinya merencanakan sesuatu yang lebih dahsyat. Bunuh diri !!!.
Tsm, 20100318
Sumber http://irvanmulyadie.blogspot.com
Dipublikasikan pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya;