Selamat Datang di Blog Dina Cerpen

Share |

Cerbung Afan dinata

Santri 30%
(Bagian Tiga)


Lukislah Hatiku

Lukislah hatiku
Dengan kuasmu
Berlumpur dzikir
Dan helaian rambut matahari
Yang benerang

Begitulah bait puisi yang ditulis Zaedun di kamar 12 berisi 9 orang santri, datang dari berbagai wilayah, ada yang dari Bekasi, Bandung, lampung, Jawa Tengah dan Kalimantan, suasana kamar memang betul-betul ramai apalagi bahasa yang digunakan berbeda, lucu juga mendengar bahasa Kalimantan, Jawa Tengah, asing di dengar oleh Zaedun. Zaedun malam ini sedang merenung, ia coba menulis puisi dari pengembaraan bathinnya, pergolakan awal hidup di dunia pesantren yang kontras dengan kehidupan di kampung halaman.

Dalam benak Zae berkata dan berangan-angan kelak aku ingin menjadi seorang da’i seperti Kiai yang sering aku dengar ceramahnya tiap pagi dari Radio Elgangga di bekasi. Belum selesai Zae berangan-angan, Nana mengagetkan Zae yang duduk sambil memutar-mutar pulpen di tangannya

“woi,…ngelamun aja, ngelamunin apa ini, dapat pacar baru yah?” celetuk Nana.

“ Nana…Nana.. kamu ngagetin aku saja, teu ningal kuring keur mikir” kata Zae.

“euleh-euleh si bapa ini tos tiasa nyarita sunda …..” balas Nana sambil cengengesan, terus lanjut cerita “ lagi mikirin apa teman kita ini, woi anak-anak si Zae sedang jatuh cinta nih” gosip Nana ke teman sekamar.

“ngga….ngga bohong, fitnah itu….lebih kejam tau dari Mbah Wedus” jawab Zae.

”tunggu…tunggu…siapa Mbah Wedus?” tanya Riki (teman sekamar, orang Kalimantan) dengan terheran-heran.

“ iki wong seberang ora apal sopo iku Mbah Wedus” jawab Dasuki (temen kamar sebelah, yang lagi mampir di kamar 12).

“ memang kamu tau Das siapa Mbah Wedus iku?” Tanya Zae, belaga Jawa.

“emuh aku (ngga tau aku), kamu tau Zae siapa Mbah Wedus?”. Jawab dan tanya Dasuki.

“ ngga,….gua mah ngada-ngada aja hehehehe…..” jawab Zaedun ala betawi.

“tos…..tos… ayena tos wengi ayenamah urang sare” kata Rulli logad betawi tapi bahasanya sunda, maklum orang kota gitu loh.

Jam menunjukkan pukul 03:00 pagi, santri-santri sudah siap untuk berangkat ke masjid, sambil menunggu shalat shubuh, mereka melakukan aktifitas ibadah masing-masing, ada yang shalat tahajud, tadarus, dzikir, ada juga yang masih mengantri wudhu, tempat wudhu yang berjajar panjang di atas kolam di sebelah kanan tempat wudhu itu, di tumbuhi beberapa pohon kelapa dan pohon belimbing, yang akan terasa teduh jika pada siang hari terik matahari mengibas sinarnya. Seperti biasa kegiatan Zaedun, adalah jadwal yang sengaja ditulis dan ditempelkan di pintu lemarinya, menjelang shubuh, shalat tahajud 20 menit, tadarus jus’amma 10 menit, menghapal kitab 30 menit, shalat shubuh berjama’ah, dan diteruskan mengaji sampai jam 06 : 00 pagi, begitu seterusnya tiada hari tanpa kegiatan belajar dan ibadah. Begitu pulang sekolahpun Zae buat jadwal untuk menghapal setelah menunaikan shalat Dzuhur, sampai waktu ashar tiba, setelah ashar pengajian rutin sampai jam 05 : 00 sore, ada jeda waktu sebentar buat makan, bersantai bersama teman-teman sebelum waktu magrib tiba, karena setelah magrib ada pengajian sampai jam 10 : 00 malam setelah itu baru bisa dipakai buat istirahat, tapi kebanyakan santri waktu itu digunakan untuk berbagi bersama rekan-rekan sekamar untuk bersenda gurau sampai kantuk datang.

Zae bertekat untuk belajar dan ibadah secara sungguh-sungguh, mungkin santri yang paling rajin di kamar 12 cuma Zae, dari menulis jadwal di pintu lemari, sampai kegiatannya habis buat menghapal, ibadah dan belajar, dan hanya sedikit waktu untuk bermain, paling jika kamarnya kebagian patrol, membersihkan asramanya juga asrama putri yang telah ditentukan pengurus untuk dibersihkan, mereka bisa ketawa bersama, bercanda, apalagi kalau sedang membersihkan lingkungan asrama santriwati, bisa menjadi-jadi tingkah anak kobong 12 ini. (kata “kamar” di ganti jadi kata “kobong” ).

Sudah hampir sebulan Zae, Nana, dan Rulli santri yang asalnya bekasi ini menempati kobong 12, bahasa sunda sudah hampir mereka kuasai, yaa bagaimana tidak komunikasi sehari-hari yang didengar bahasa sunda, dari ustad yang mengajar, pedagang, dan dominasi santri yang memiliki darah sunda. Sore itu Rulli terlihat pucat sekali, Zae sebagai teman dekatnya belum sadar kalau Rulli sedang sakit sejak kemarin, mungkin Zae terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri .

“Zae, nanti kalau ke gerbang, tolong belikan aku bubur kacang” pinta Rulli.

“oke….jawab Zae” dengan santai.

Zae berjalan keluar menuju gerbang Pesantren, karena memang di depan gerbang banyak pedagang, ada yang jual mie ayam, baso, es campur, cireng (aci digoreng), cimol (aci molongo), basreng, soto, rencang sangu, nasi TO, pe empe, wah masih banyak lagi makanan khas sunda, jawa, palembang pokoknya Indonesia ada dipesantren ini.

“Rull ini titipan kamu, bubur kacang ia kan?” kata Zae.

“ia, Zae berapa?” Tanya Rulli.

“Sudah ngga usah di ganti” jawab Zaedun.

Tidak beberapa lama Rulli muntah-muntah setelah memakan beberapa sendok bubur kacang, anak-anak satu kobong pada panik, terutama Zae, ia sibuk memijat-mijat punduk Rulli, terus-menerus sambil berkata “ sabar…sabar Rull..sabar”.

Teman-teman yang lain ada yang membersihkan muntah, Nana sendiri tergesa-gesa pergi ke pengurus, untuk memberitahu kondisi Rulli yang kelihatan pucat sekali. Seketika pengurus menyuruh membawa Rulli ke rumah sakit umum di kota tasikmalaya karena memang kondisinya lemah sekali, dengan dibawa mobil pesantren khusus menangani santri yang sakit.

Zae, sedang memutar pikir, " apa mesti orang tua Rulli di kasih kabar tentang kondisi Rulli ".

“ah tidak, sebelum jelas aku ngga mau kasih kabar ini kepada keluarga biar kondisi Rulli sehat kembali, jadi tidak membuat keluarga Rulli khawatir’.

Apa mau dikata, dokter menanyakan keluarga Rulli, karena Rulli perlu tambahan darah, rupanya Rulli sudah sejak lama sakit, hanya saja dia ngga pernah berkelu kesah pada teman satu kobongnya, malam itu juga Zae mencoba menghubungi orang tua Rulli .

“ hallo, assalamu’alaikum bisa bicara dengan umi (Zae biasa panggil ibunya Rulli dengan sebutan Umi ”.

“ia ini sama Umi, ini Zae yah gimana kabar semua di pesantren Zae,Rulli juga Nana” kata Umi.

Zae terdiam sebentar, “ia Umi alhamdulillah Zae, Nana sehat, tapi Umi….?”

“tapi kenapa Zae” Tanya Umi.

“ Rulli sekarang lagi di rumah sakit, kondisinya lemah, dokter minta Umi datang, Rulli membutuhkan donor darah” jawab Zae.

Di telepon terdengar ramai sepertinya keluarga di bekasi juga Umi begitu panik.

“ia….ia…sekarang Umi ke Tasik, Zae jaga Rulli bae…bae ya sekarang Umi ke tasik” kata umi berulang-ulang, dan telpon terputus, Umi seperti panik sekali.

Zae berjalan lemas sekali, ia berkali-kali mengutuk dirinya.

“kenapa gua ngga tau, kalau Rulli itu sakit sejak lama, gua egois mementingkan kegiatan gua sendiri” kata-kata itu terus berputar dalam kepala Zae.

Rupanya Nana juga memiliki rasa yang sama seperti Zae.

“ Zae, gua betul-betul bego, ngga mau tau urusan temen, Rulli yang sekamar sama gua, gua sendiri ngga tau kalau Rulli sakit, gua salah Zae gua….”kata-kata Nana.

Zae memotong pembicaraan Nana.

“ bukan….bukan Nana ini musibah, kita mesti ambil hikmahnya dan kita do’akan semoga keadaan Rulli baik-baik saja dan cepat sembuh, sabar kita mesti sabar Ya Na” kata Zae mendinginkan masalah.

Mereka terdiam, masing-masing tersita oleh pikirannya. Malam ini Nana, Zaedun dan rois asrama Kang Ramdhan menginap di rumah sakit, untuk kegiatan pesantren juga sekolah Zae dan Nana sudah diberi izin libur sementara oleh pengurus asrama.

Sinar matahari pagi ini terasa sejuk dan cuaca begitu cerah, embun masih terlihat linanganya pada baris-baris rerumputan di area halaman rumah sakit yang terpangkas rapih. Pagi ini Zae bersikap untuk optimis menghadapi waktu yang baru saja terbit.

“ semoga cerahnya pagi ini sebagi bertanda sembuhnya sobatku Rulli, aamiin” dalam bathinnya.

Dari kejauhan terlihat seperti Umi dan keluarganya menuju ke arah Zae, Zae tidak ambil diam lekas menyusul Umi dan Keluarganya.

“Umi….sambil melambaikan tangan”

“Zae….Zae” Umi menghampiri ke arah Zae.

”assalamu’alaikum” salam Zae sambil mencium tangan Umi dan berjabat tangan dengan keluarga Rulli yang lain, ada Adiknya, Kakaknya, juga Pamannya.

“ gimana Rulli? Zae” Tanya Umi.

“ kondisinya masih lemah Umi, kata dokter Rulli butuh penambahan darah, langsung aja Umi ke ruang dokter, ayo sama Zae di antar”

Setelah beberapa jam pemeriksaan alhamdulillah darah sudah bisa di transfer ke tubuh Rulli, karena darah Umi cocok dengan golongan darah Rulli.

Setelah beberapa hari Umi dan Keluarga Rulli menginap di rumah sakit tasikmalaya, kepanikan Umi mereda, karena Rulli berangsur pulih dan mendekati sehat, selama di rumah sakit, Zae, Nana, Umi juga keluarga Rulli, kurang tidur menunggu secara bergantian, sekarang tinggal menunggu keputusan dokter, kapan Rulli di perbolehkan pulang.

“Ibu Rulli…” panggil perawat.

“ia suster, ada apa yah?” Tanya Umi.

” Ibu sekarang ke ruang dokter, ada beberapa hal yang ingin dibicarakan” kata perawat.

“ia, baik suster”.

Tidak lama Umi keluar dari ruang dokter.

“ alhamdulillah Rulli sudah boleh pulang, sekarang siap-siap Rull, kata dokter Rulli harus istirahat dulu barang seminggu untuk memulihkan kondisi badannya” kata Umi.

“alhamdulillah” ucapan yang spontan keluar dari mulut Zae, Nana, juga keluarga rulli.

“ Rull cepet sehat yah, maapin gua ya udah ngga perhatian sama elu” kata Zae .

“ ia Rul gua juga” timbal Nana.

“ ah ngga gua aja yang ngga bisa jaga kesehatan, makasih ya Zae, Na, jadi ngerepotin semuanya” jawab Rulli.

“ngga Rul kita ngga kerepotan kok, sama-sama yah cepet sehat dan cepat kembali ke kobong 12 lagi oke” kata Zae

“ oke….oke…” Rulli tersenyum.

“Alhamdulillah semua musibah ini telah aku lewati, sekarang aku akan berusaha lebih untuk belajar mengimbangi waktu antara waktu dengan teman, belajar, ibadah, aku ngga mau terulang lagi kejadian seperti ini, setidaknya perhatian aku kepada teman-teman tidak terabaikan hanya karena egoisnya aku” bathin Zaedun di sela berangkatnya Rulli.

Umi, dan Keluarga kembali ke bekasi bersama Rulli, untuk sementara Rulli istirahat di kampung halaman sampai sehat kembali dan berjuang lagi di Pesantren teman sedang menanti.
Prev Next Next

Copyright @ 2011 By. Dina Cerpen