Dan Kematian Pun Salah Alamat
Aku tahu mungkin cerita ini akan nampak janggal, tidak masuk akal. Irrasional. Kamu mungkin menganggapku sebagai seorang pembual atau bisa saja pengkhayal. Absurd, tidak jelas apa yang dimaksud. Kendati demikian, ada suatu hal yang tidak bisa disangkal; bahwa segala apapun keyakinan kita terhadap segala sesuatu di dunia ini belum jua final.
***
Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya selepas main catur, Maman suka langsung tidur, bahkan sampai mendengkur karena kecapean. Tapi malam ini tidak, Maman tidak bisa tidur. Bukan, bukan karena rumahnya dekat dengan kuburan, kalau itu alasannya mungkin selama tujuh belas tahun dia tidak bisa tidur. Tapi entah kenapa malam ini terasa sangat beda bagi Maman. Maman tidak bisa berdamai dengan malam ini.
Maman pun bangun, menyeduh kopi, mengambil rokok, kemudian duduk di depan rumahnya yang menghadap kuburan.
Dua puluh menit berlalu. Rasa kantuk semakin menjauh. Jam berganti. Rasa kantuk semakin mati. Padahal hari belum jua pagi, masih dini hari, sekira jam dua.
Tatapan Maman menerawang ke depan, melihat angkasa yang semakin menawan, memberikan ketenangan sekaligus kebingungan, lantas pikiran Maman tertawan oleh sebuah pertanyaan.
“siapa itu? kelihatannya ada orang yang datang menuju kemari?...” setelah menyidik-nyidik dari kejauhan “Ah paling juga mas Tarso ngajak main catur lagi, gak ada kapok-kapoknya. Tapi baguslah, jadi ada teman main catur lagi”
Maman menunggu orang yang menurut perkiraannya adalah mas Tarso, seorang tukang dagang vcd bajakan. Tapi setelah beberapa meter orang itu mendekat, perkiraan Maman mengenai mas Tarso pun lenyap.
“lho, bukan mas Tarso, siapa ya?... aku belum pernah lihat orang itu di sekitar sini?”
Hantu? Maman menepis pikiran itu, sekalipun sudah tujuh belas tahun dia tinggal berhadapan dengan kuburan tak sejumput pun Maman menemukan hal-hal yang aneh, selain muda-mudi yang asyik masyuk pacaran, ciuman, pelukan di balik semak-semak dan rumput. Atau orang yang numpang kencing di balik pohon kayu.
Orang itu mendekati Maman. Sebagai pribumi, Maman mempunyai kewajiban untuk menyapa terlebih dahulu. Maka Maman pun bertanya “mau ketemu siapa mas?”. Orang itu tak menjawab malah duduk dengan tenang di samping Maman. Orang itu menatap Maman, kemudian tersenyum.
Maman mulai sedikit merinding. Melihat gelagat Maman yang ketakutan, orang itu akhirnya berbicara.
“jangan takut, aku bukan hantu, tapi aku juga bukan manusia. Aku bukan iblis, aku juga bukan malaikat. Aku hanya sebatas penyampai pesan. Bahwa besok malam tepat jam segini, kamu bakalan mati”
Pertama mendengar omongan ini Maman kaget, siapa yang tidak terkejut dengan kematian? Tetapi kesengsaraan hidup membuat Maman bisa lebih rileks, akhirnya Maman ketawa kemudian menjawab dengan bahasa setempat.
“panjenengan niki sinten? Lha kok wantun’e taken kulo sedo enjang?”)*
Orang itu tersenyum. Seperti sudah hapal bagaimana reaksi orang-orang yang mendapatkan pesan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi, orang itu menutup mata Maman dengan tangannya, seperti ritual wajib yang mesti dilakukannya setelah menyampaikan pesan demikian. Dengan seketika pandangan Maman gelap seperti memasuki portal dunia lain.
Tidak kurang lima menit, setelah orang itu melepaskan tangannya. Maman kemudian berkata. “Benarkah besok aku akan mati?”
Orang itu, seperti biasa, tersenyum, kemudian mengangguk.
***
Malam pun larut dan pagi di ufuk sana mulai menggelayut. Seperti mimpi, mendapat kabar bahwa esok akan mati, Maman kemudian mengira-ngira, dalam pikiran yang tak bertepi.
“mungkin beginilah cara Tuhan bekerja, mungkin begini keadaannya orang-orang yang bakalan mati”.
Hari beranjak pagi, orang itu masih duduk di sisi Maman. Namun seolah ada kesepakatan bersama dengan bahasa buana, mereka tak saling bicara. Begitu pun Maman, kini ia lebih banyak diam, namun hati dan pikirannya lebih banyak bicara.
Maman seolah mengabaikan keberadaan Sang Penyampai Pesan, kemudian masuk ke rumahnya. Di kamarnya, dia melihat istrinya sedang tertidur pulas. Di pandang wajah istrinya dalam-dalam, perempuan yang selalu merengek minta uang belanja lebih, males membuat masakan buatnya, bau badan yang sangat menyengat.
Namun pada saat itu, semua anggapan itu hilang. Rubuh oleh rasa sayang yang lambat laun berubah menjadi rasa kehilangan, karena besok malam, Maman akan mati. Baru kali ini Maman menyadari betapa berartinya perempuan yang sedang tertidur itu, yang selalu siap ketika Maman sakit, yang telah menemani hidupnya selama kurang lebih delapan belas tahun.
Sementara di samping perempuan itu ada dua mata hatinya, ketika melihat dua anaknya, tak kuasa Maman menitikkan air mata.
Adzan shubuh berkumandang, tak biasa seperti hari-hari sebelumnya, Maman mengambil air wudhu, kemudian ia sholat. Mungkin ini adalah sholat shubuh pertama dimana Maman bisa tepat waktu, biasanya tidak tepat waktu, bahkan lewat saja, tidak sholat. Tapi kali ini beda, sebab Maman ingat, besok dia akan mati, dia ingin menghabiskan sisa waktunya untuk bekal di akhirat nanti.
***
Pagi hari, rutinitas biasa, istrinya menyiapkan sarapan buat buah hatinya. Namun, pandangan Maman kali ini beda, dia sangat menikmati suasana kehangatan keluarga pagi hari; anak-anak berisik memakai seragam, merengek-rengek minta uang jajan di tambah karena temannya lebih banyak, mencari pulpen bekas semalam yang entah disimpan dimana?
Sementara istrinya, sekalipun belum mandi, memakai daster kreditan yang belum lunas, entah mengapa dalam penglihatan Maman menjadi begitu cantik dan ayu. Maman kemudian masuk ke kamar, mengambil jam dinding, mengambil obeng, di bukanya jam dinding itu dan keluarlah uang sepuluh ribuan.
Di sanalah Maman menyembunyikan urang lebih dari hasil ngesol sepatu, Maman mengambil seratus ribu, disimpannya kembali jam dinding seperti sedia kala. Maman memberikan kepada kedua anaknya dua puluh ribu. Mereka girang alang kepalang, loncat loncatan, tak henti-hentinya anak-anak itu bermanja-manja di hadapan Maman.
Sementara istrinya yang mengetahui hal itu, dari dapur langsung ngomel ke Maman. Tapi Maman hanya ketawa kecil, kemudian dikasih sisanya delapan puluh ribu ke istrinya. Maka omelan pun serta merta berubah menjadi manja-manjaan.
Istrinya bertanya “kok tumben ngasih banyak, biasanya cuman tiga puluh ribu”. Maman menjawab sekenanya, “aku pengen makan enak, nanti siang beli ayam ya?”.
Istrinya pun tak banyak bicara, hanya mengangguk patuh. Uang memang bisa membuat segalanya mungkin, neraka jadi surga, dosa jadi pahala begitu juga sebaliknya.
***
Selepas sarapan, sekira jam sembilan, seperti biasa, Maman pergi kerja ngesol sepatu dengan sepeda yang di cat merah putih. Jangan aneh, mengenai sepeda yang di cat seperti warna bendera itu Maman berdalih supaya tidak di curi orang, “mereka akan pikir-pikir kalau mau nyuri juga, ah sepeda jelek begini” kata Maman. Alasan yang sangat bagus, apakah mungkin dulu para leluhur kita ketika merancang apa warna bendera negara punya pikiran yang sama seperti Maman? Supaya tidak di curi orang?
Entahlah, yang pasti kini Maman sudah tiba di tempat biasanya dia mangkal. Tak begitu jauh dari rumahnya, sekira lima belas menit, di depan toko Cleofatra barber shop (tempat cukur buat laki-laki) yang paling kesohor di kotanya.
Maman menyiapkan tempat kerjanya, yang sebuah kursi kecil untuk tempat duduknya dan kursi panjang untuk para pelanggan menunggu sepatu atau sendal yang di kerjakannya. Di balik kotak persegi itulah Maman menggantungkan hidupnya selama bertahun-tahun; ngesol.
Setelah semua persiapan beres, Maman kembali teringat bahwa dia akan mati nanti malam, berarti sisa hidupnya hanya tinggal ± dua puluh jam lagi. Pengalaman spritual ketika di tutup mata oleh Sang Penyampai Pesan membuat Maman tidak bisa menyangkal kebenaran pesan itu. Maman kembali hanyut dalam lamunan.
Tepat di saat itu, ada seorang pelanggan datang, meminta untuk di jahitkan sepatu yang bawahannya mengelupas. Setelah pelanggan itu pergi, Maman tidak langsung mengerjakannya, kembali ia melamun. Melamunkan bahwa nanti malam dia akan mati, sungguh berita yang tidak bisa di percaya! Tapi bagaimana lagi. Yang hidup pasti bakal mati. Dan itu satu keputusan yang pasti. Tidak bisa di pungkiri.
Kendati demikan jauh dari lubuk hati, Maman tetap tidak percaya kenapa nanti malam ia bisa mati?
Pengalaman spritual ketika di tutup mata oleh Sang Penyampai Pesan memang menghenyakkan tapi tetap saja tidak bisa melenyapkan rasa kepenasaran Maman; bahwa nanti malam dia akan mati?
Di sela pikiran ini, Maman kembali teringat kepada Sang Penyampai Pesan, “lho kemana dia?” tanya Maman dalam batin. Namun seolah mengetahui isi hati Maman, dalam hitungan sepersekian detik Sang Penyampai Pesan sudah ada di sampingnya, seperti biasa, tersenyum.
Ketika melihat Sang Penyampai Pesan, rasa ketidakpercayaan Maman kembali luruh, kepercayaan diri Maman bahwa berita itu mungkin saja salah runtuh. Ketika melihat Sang Penyampai Pesan hati Maman terasa teduh. Hati Maman pasrah, sekalipun dosa, dosa dan dosa selayak darah mengalir dalam tubuhnya.
Entah mengapa, Maman jadi teringat dosa, ingat dulu sewaktu muda pernah minum minuman haram yang bernama bir, pernah sekali dua kali merasakan pelacur, jarang sholat, singkatnya jarang melakukan ibadah. Tapi bagaimana lagi, sewaktu dulu, Maman pernah berpikir bahwa Tuhan itu tidak ada, bahwa akhirat itu hanya lelucon para ustad, kiyai dan semacamnya, bahwa kematian itu ibarat uang satu milyar yang tak pernah bisa ia lihat dan rasakan, bahwa hidup hanya sekali disini, sekarang ini saja, bahwa akhirat itu mungkin saja bohong.
Tapi pengalaman spritual yang di sajikan Sang Penyampai Pesan ketika menutup matanya, merubah semua anggapan itu; bahwa hidup ternyata bakal mati juga. Kenapa dia tidak ingat akan hal itu dulu? Ah, kenapa dulu dia tidak percaya itu, ah kenapa dia tidak menurut ketika ayah dan ibunya menyuruh belajar ngaji.
Memang Maman sering melihat orang mati mendengar orang mati, tetapi tak sedikitpun Maman berpikir bahwa dia juga akan mati. Maman pikir, kematian itu hanya akan menimpa orang lain, bukan dirinya. Ah…!
Penyesalan datang bertubi-tubi seperti lalat mengerubungi tai. Tapi mau bagaimana lagi, Maman hanya bisa terpaku oleh segala macam akibat perbuatannya yang ternyata bakal berbicara sementara dirinya diam membisu.
***
Hari ini bagi Maman waktu seakan berlari. Tiba-tiba saja sudah jam lima, penghasilan sekarang tidak tidak seperti biasanya, lumayan cukup banyak, Maman mengantongi uang sampai seratus lima puluh ribu rupiah, padahal hari-hari biasanya paling tinggi cuman nyampe seratus ribu. Entah mengapa, ada orang yang berani membeli sepatu yang di pajang Maman seharga lima puluh ribu, padahal dulu Maman membelinya dengan harga sepuluh ribu dari loakan.
Maman pulang. Dia minta pada istrinya untuk di sediakan air panas, tiba-tiba saja dia pengen mandi pake air hangat dan tak biasanya juga, istrinya dengan senang hati menuruti keinginan Maman. Maman menjadi semakin sedih karena malam hari nanti dia akan mati. Maman tidak ingin orang-orang tahu akan hal itu, bahkan istrinya sekalipun.
Mendekati tengah malam, mas Tarso datang, seperti biasanya mengajak untuk main catur. Tapi tidak seperti biasanya, Maman menolak halus ajakan itu. Maman ingin menghabiskan malam terakhirnya dengan keluarganya. Hanya dengan keluarganya. Tidak dengan yang lain.
Tepat tengah malam. Ketika istrinya tertidur pulas beserta anak-anaknya. Maman mengambil air wudhu, dan tak seperti biasanya Maman melaksanakan sholat malam. Selama satu jam, Maman menangis tersedu-sedu, ingat ibunya, ingat bapaknya yang jauh di sana, ingat sanak saudara yang lainnya. Maman jadi ingat semuanya.
Maman menjerit pada Tuhan, meminta untuk di berikan kesempatan sekali lagi untuk berbuat baik, untuk menghapus segala dosanya, meminta di berikan waktu sekali lagi untuk beribadah seperti malam ini. Maman baru tahu, ternyata sholat itu nikmat, sekalipun bacaan-bacaan arab itu sama sekali tak di pahaminya.
Maman pengin jadi orang baik, Maman pengin beribadah, Maman bersumpah pada Tuhan kalau dia diberikan kesempatan sekali lagi dia akan bersyukur atas segala nikmat apa yang di berikan; yakni nikmat kehidupan!
***
Tepat tengah malam menjelang pagi seperti malam sebelumnya. Maman kembali duduk di di depan rumahnya. Menunggu Sang Penyampai Pesan. Menunggu, menunggu dan menunggu. Karena seperti Sang Penyampai Pesan katakan sebelumnya dia mesti menunggu di waktu yang sama seperti dia datang pertama kali padanya.
Tapi maman tidak tahu kapan tepatnya. Maman cuma mengira-ngira. Maka setelah sholat malam. Dia duduk di depan rumahnya, tanpa kopi, tanpa roko melainkan memakai peci dan mengenakan baju koko.
Tatapan Maman menerawang ke depan, melihat angkasa yang semakin menawan, memberikan ketenangan sekaligus kebingungan, lantas pikiran Maman tertawan oleh sebuah pertanyaan.
“kenapa dia belum juga datang?”
Tak berselang lama setelah dia mulai merasa jengah menunggu, Sang Penyampai Pesan itu akhirnya datang, duduk dengan tenang di samping Maman. Menatap Maman, kemudian tersenyum dan bicara.
“maaf, nampaknya aku salah orang”
Tanpa menunggu reaksi Maman, Sang Penyampai Pesan itu kemudian menghilang. Maman ditinggal sendiri yang sudah rapi memakai baju koko disertai peci. Dan entah mengapa rasa kantuk mendadak datang. Maman pun masuk dan tertidur pulas sebagaimana biasanya.
***
Pagi hari menjelang siang sekira jam sepuluhan. Istrinya membangunkan Maman.
“mas, bangun, bangun, bangun… tokh? Udah siang, kerja sana”. Maman males-malesan, matanya masih terasa berat untuk di buka. Tidak bangun, hanya mengganti posisi tidurnya. Istrinya yang sudah biasa menghadapi kelakuan Maman seperti ini, hanya mendesah, “mas, bangun, tadi Mas Satiman datang kesini, pagi-pagi sekali”
“ana apa?”)** jawab Maman sekenanya.
“itu mas Suryaman, tadi pagi meninggal, mas di minta bantuan untuk menggali kubur”
Mendengar ucapan istrinya seperti itu, Maman sontak kaget. Dia langsung bangun. Karena ingat bahwa nama lengkap mas Suryaman adalah Suryaman Maman.
Catatan:
* kamu ini siapa kok bisa-bisanya mengatakan aku mati besok?
** ada apa? ****