Selamat Datang di Blog Dina Cerpen

Share |

Cerbung Afandi Maulana

Kau Ku Anggap Adik Atau Pacar
(Bagian Ke Tiga)



Ingin Aku Menyentuhmu


Ingin aku menyentuhmu; dari surga
Mengusap ikal rambutmu yang gemerlap
Sambil kuucap; aku sayang padamu
Dari jendela ini kulukis gemulai tubuhmu
Lalu aku berkata; ini bukan puisi, sayang

Aku sedang dilanda cinta
Perpaduan antara rasa dan sukma
Cinta adalah rimba rasa; kau tahu?
Darahku mengalir deras
Emosiku menggempa keras

Biarkan angin membelai rambutmu
Air meraba lekuk tubuhmu
Ketika kau melebur segala kelu
Dan kucipta bayanganmu dalam cerminku
Kusimpan agar kurawat dengan rindu

Kucium semerbak harum tubuhmu
Saat kau melintasi tubuhku
Kupunguti seribu tapak langkahmu
Berjajar diperjalanan hatiku
Kasih, engkau begitu sopan mengetuk hati

Panjang rambutmu menarik-narik jantungku
Aku meronta ingin menyentuhmu
Kupeluk erat tubuhmu dan kita terikat satu
Tak bisa bergerak seperti tawanan perompak
Aku ingin menyentuhmu lebih jauh

Biarkan tubuh kita mengerang
Sedang hati kita berjalan berjingkrakkan
Jari-jari tangan kita bertautan
Mata kita berkejaran, dan
Kita menahan rasa debar yang panjang

Tubuhmu adalah mantra kehidupan
Kita terus berjalan terus berjingkrakkan
Tak ada kabut penghalang
Yang memangkas makna ketunggalan
Ingin aku menyentuhmu lebih dalam; dari surga

Sejak sapaan pertama dari pujaan hati, Rangga tak pernah berhenti mengingat wajahnya, begitu singkat perbincangan begitu dalam makna yang disimpan. Wajahnya ada di mana aku bersinggah, suaranya teriang-riang dalam ingatan. Dirinya merubah Rangga menjadi sang pecinta ‘pecinta wanita’. Dirinya sebagai obor yang menerangi sepi. Seperti menemukan air di gurun pasir, ajaib.

“Kenapa harus wanita yang menjadi mata airnya? Menghilangkan haus yang lama ditahan?”.

“Karena aku lelaki, yang butuh cinta dari seorang wanita, dan ia adalah takdir”.

“Takdir datang begitu saja, seperti air mengalir dan aku tak bisa melawan arus takdir”.

“Aku menginginkan cinta, ketika kupandang, hati ini bergetar”.

“Ketika kukenang, serasa hati ini melayang”.

“Ooooh, begitu dahsyatnya cinta”.

“Tuhan, aku tak sanggup menahan rasa cinta, barang sehasta”. rasa Rangga sedang terlena.

Di sela baris teralis pagar masjid seberang gedung seni, Rangga merebahkan tubuhnya yang lelah di bawah pohon yang tidak begitu rindang setelah seharian penuh kakinya belum juga ditekuk barang sedekuk, berdiri berpindah-pindah posisi memotret peserta lomba baca puisi.

“Akhirnya datang juga istirahat”gumamnya.

Angin sepoi-sepoi membelah sekujur tubuh Rangga, tak terasa mata terpejam dan terlelap tidur bersama lenyapnya lelah yang sejak tadi tergantung. Terbang bersama mimpi di siang lengang, memasuki lorong waktu dunia rasa. Dia tersenyum, dia tertawa, kita saling bertatap lama, dan getar-getar sukma cinta mulai merasuk jiwa perlahan-lahan, bersama sejuknya usapan angin yang malang melintang sampai terasa pada lubang pori-pori menyentuh cinta dalam aliran darah.

“Rangga, Rangga” seseorang memanggilnya.

Dengan gelagapan Rangga terbangun “ia, ia, ada apa, ada apa?”

“Kamu, sempat-sempatnya tidur” ternyata Angling yang menghamburkan mimpi-mimpi indah.

“Angling, Angling, mengganggu istirahat aku saja, ada apa Ling?”

“Ngga, ngga ada apa-apa, cuma ingin ngebangunkan saja”

“Dia benar-benar cantik, manis, oh Ling, kau membuatnya pergi”.
“Pergi?, siapa yang cantik, siapa yang manis?” tanya angling.

“ wanita dalam mimpiku tadi, sudahlah mengganggu saja”.

“haha….., dasar Rangga siang-siang mimpi jorok” ledeknya.

“Ling, kamu bukan sedang jaga stan buku, sana nanti bukunya hilang satu lagi” seru Rangga.

“beda orang lagi jatuh cinta, sampai kebawa-bawa mimpi, aku kedalam lagi Rang, jangan lama-lama menghayalnya”.

“ia, ia,… sudah sana, nanti aku nyusul, lagi nanggung nih”.


Hari pertama lomba baca puisi telah usai dan lancar, selancar rasa cinta Rangga. Ingin rasanya ini menjadi sebuah inspirasi untuk menulis, seperti halnya penyair dengan bait-bait puisi tentang cinta. Mungkin satu masa akan menjadi kenang yang terindah, ketika kubaca kembali puisi yang kutulis pada sehelai kertas tentang dia dan cinta.

“eh akang, lagi nulis apa kang” suara terdengar dari arah belakang tempat Rangga duduk menghadap monitor.

“Ehm” Rangga berdehem, sambil menelan ludah.

“Ia, lagi belajar nulis puisi, kamu suka nulis juga Nov” tanya Rangga sambil membalikkan badan ke arah Novi berada.

“Kadang-kadang si, aku juga masih belajar”.

“Ya udah, akang terusin lagi aja deh, nanti malah mengganggu lagi ”.

“Ngga , aku senang bisa ngobrol sama kamu, nulisnya juga sudah selesai” jawab Rangga , hatinya berdebar.

“Tidak kenapa nih, eemm akang sudah berapa lama menulis?”.

“ Ngga, ngga kenapa, aku baru…ehm maksudnya aku belum lama menulis, kamu sendiri Nov sudah berapa lama suka menulis” Rangga terlihat kikuk.

“Eeemmm… ngga juga, habis nulisnya juga angin-anginan, sebentar nulis, ngga nulisnya yang lama, ya kaya ngga serius gitu loh” jawab Novi.

“tapi kalau baca suka, kadang-kadang kalau isi bukunya tidak sesuai dengan hati Novi, Novi tuh ngga tahu kenapa suka kesel aja, inginnya di debatin”.tambahnya.

“Kok begitu, kan ngga setiap orang punya pendapat yang sama, justru memperkaya ilmu bukan?” timbal Rangga.

“Dan bukan berarti semua pendapat itu benar, ya kita sebagai manusia sebisa-bisa mungkin untuk memilih dan mengungkap apa yang menurut kita benar setelahnya berbagi, biar semua orang bisa berapresiasi” ucap Rangga begitu tegar.

Jantung Rangga berdegup semakin kencang, suaranya bergetar, keringat mengucur membasahi tubuhnya, hatinya berkata “ sialan, bisa-bisanya aku bicara seperti itu dapat darimana kata-kata itu, ah masa bodoh”.

Sementara Novi yang sejak tadi berdiri, akhirnya runtuh juga, duduk bersandar pada tembok di sebelah pintu menghadap jendela yang terbuka, terlihat bintang-bintang bertaburan bersama cerahnya malam, walau agak sedikit dingin.

Rangga, yang masih duduk di bangku, mengalah juga beralih duduk di atas tikar tepat berhadapan dengan Novi kurang lebih berjarak 200 cm.

“Buku apa saja yang Novi suka?” tanya Rangga, mengalihkan pembicaraan.

“Eem, Novi suka buku novel, sejarah, apa lagi yah?, ya pokoknya yang enak di baca dan bermanfaat aja, akang sendiri?” tanyanya.

“Kalau aku lebih suka baca buku psikologi, sama biografi”.

“Cuma itu aja?”.

“Ngga juga selebihnya, buku-buku yang menurut aku perlu dan penting dibaca”.

“Ngomong-ngomong aku kan belum kenalan sama kamu Nov” sergap Rangga.

“Oh ia, Loh kok tapi akang tahu nama Novi dari siapa?” tanya Novi.

“ Ya Novi, siapa si yang ngga kenal dengan wanita yang bernama Novi, orang kutub saja tahu kok” canda Rangga.

“Iiiiiiiih akang, orang ditanya serius kok jawabnya bercanda” mimik cemberut terlihat dari wajah manisnya Novi.

“Ia,…ia aku serius, aku tanya sama teman kamu Yuki, ya sudah kita resmi kenalan aja, aku Rangga” serempak keduanya mengulurkan tangan.

“Aku Novi” balasnya.

Malam semakin gelap perbincangan Rangga dan Novi semakin meredup, sedikit-sedikit suaranya mulai menghilang termakan gelapnya malam, di gantikan dengan teriak sang cengkerik dan gema suara katak. Begitu juga dengan teman-teman di Sanggar sudah menyimpan rapat-rapat perbincangan, besok kita pasti membutuhkan kata-kata lagi, jangan kau habiskan kata-kata itu cuma untuk hari ini, karena masih ada hari esok.

Rangga menutup perlahan kelopak matanya, dengan meninggalkan peristiwa yang berkesan bagi dirinya.

“Esok hari aku masih menanti kesan yang berarti ” bathinya.

Malam begitu serasi dengan sunyi.
Prev Next Next

Copyright @ 2011 By. Dina Cerpen