TENTU, KUANGGAP PUTRIKU, YANG TERSAYANG
Disebuah kuburan, makam-makam yang sepi tanpa warna bunga. Hanya rerumputan dan nisan-nisan makam. Disekitarnya pun, pasir-pasir berwarna coklat memudar dikarenakan tanpa pelindung pohon rindang.
Tidak lama berselang, kurung batang dan rombongan memasuki kuburan. Ada beberapa mobil dan ratusan motor diparkir pada sebuah lahan kosong. Rombongan itu, mayoritas berbusana hitam-hitam, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda. Ada seorang wanita berusia 30an membawa sekeranjang bunga.
Harum bunga berwarna-warni dan beraneka rupa dari keranjang ditangan Citra, tidak mampu membuat tersenyum orang-orang disekitar keluarga almarhum. Termasuk suami tercinta, Fansuri, yang hanya berdiri dan memegang erat pundak kanan Citra dengan tangan kiri yang kotor oleh tanah. Mayat itu, sudah masuk kedalam liang. Mayat itu, ayahanda Citra yang telah meninggal sebelum melihat cucu pertama tersayang.
Tampak berdiri, ayah dari Fansuri. Ayah dari Fansuri berjalan mendekati Citra dan meraih bunga berwarna-warni. Bunga berwarna-warni mulai menyentuh kain kafan sahabatnya. Besannya yang wafat karena faktor usia dan sakit. Setelah itu, tubuh sahabatnya pun tertutup papan-papan kayu. Tidak terlihat lagi tubuh dari sosok pria, sahabat ayah Fansuri, ayahanda Citra , dan mertua Fansuri.
Setelah nisan tertanam, mereka beranjak pergi satu persatu.
Ayah dari Fansuri adalah orang yang terakhir ditempat itu. Beribu kenangan terlintas dikepala. Satu niatan, bahwasanya dia dia harus mampu menganggap Citra, sebagai putrinya. Putrinya yang tersayang. Walaupun sebenarnya, ayah dari Fansuri hanya memiliki seorang anak dan putra. Begitupun sahabatnya, hanya memiliki seorang putri dan berwatak keras.
Ayah dari Fansuri berdiri, airmata telah kering kini. Dia berjalan menuju sanak-saudara yang berkumpul digerbang kuburan. Matahari terasa terik, wajah ayah dari Fansuri memerah. Selama berjalan, dia teringat bagaimana sahabatnya menolong dipenjara. Sesama narapidana, dan disanalah mereka berkenalan. Sahabatnya, yang menolong untuk hidup lebih baik. Sahabatnya, yang membantu untuk memilih wanita serasi dan setia.
Ayah dari Fansuri, terkenang setiap rejeki yang didapatnya. Ataupun, setiap butir nasi selama dipenjara. Kini, sahabatnya telah tiada. Citra seorang diri, karena sahabatnya pun telah menduda beberapa bulan yang lalu.
Melihat kesedihan mertuanya, Citra dan Fansuri memutuskan untuk pulang semobil, mobil berwarna oren. Ayah dari Fansuri, merindui kini. Ingin rasanya, dia bercerita semua kenangan bersama besannya. Atau, kenangan tentang mereka berdua, orang tua Citra. Namun yang ada, hanya airmata dan gerak-gerik kikuk. Sesekali Fansuri dan Citra menatapnya, seakan terasa kesedihan yang dialami calon kakek untuk anaknya.
Sementara dimobil yang lain, ibunda dari Fansuri, menangis dan menghapuskan semua rias diwajahnya. Hingga, yang lainpun ikut menangis atau terisak-isak. Mereka memasuki rumah megah, tempat Citra besar dan tumbuh. Suasana semakin sedih, baru beberapa bulan yang lalu dan kini, kesedihan itupun terulang.
Ibunda dari Fansuri lekas turun, dan berjalan menuju sebuah sofa berwarna hijau tua dipojok teras. Citra dan Fansuri mengikutinya dari mobil yang berbeda. Namun, mobil yang ditumpangi Citra dan Fansuri tidak beranjak pergi, seorang penumpang masih disana.
Beberapa saat kemudian, barulah ayah dari Fansuri turun. Namun, dia berjalan tidak menuju sofa, seperti Citra dan Fansuri maupun istrinya sendiri. Dia berjalan menuju ruang tamu yang memiliki banyak kenang-kenangan. Dari obrolan canda hingga tawa, ataupun ketika mereka akan mengadakan pesta pernikahan Citra dan Fansuri.
Tamu dan sanak-saudara, mulai berpamitan. Aroma bunga dan kesedihan seakan berpadu dan memberatkan mata. Tentu saja, untuk ayah dari Fansuri, almarhum adalah besan satu-satunya.
Dia merasa berat, dan tidak tahu untuk membahagiakan putri sahabatnya. Seakan dia lemah, dan tidak ada kawan. Walaupun, sebenarnya ayah dari Fansuri cukup dekat dengan istrinya. Seringkali mereka berbicara dan diskusi sebelum tidur.
Hari sudah mulai petang, ayah dari Fansuri keluar menuju sofa hijau. Istrinya tidak ada disana, hanya ada Fansuri dan Citra.
"Kemana ibumu, Fansuri?" ucap ayah dari Fansuri.
"Ibu menuju ketaman belakang" jawab Fansuri lemah.
Akhirnya, ayah dari Fansuri duduk disamping Citra. Dia mencoba untuk menyegarkan dirinya, raganya, dan hatinya. Citra dan Fansuri hanya merasakan setiap gelagatnya.
"Lihat ditaman sana" ucap ayah dari Fansuri dengan tangan kanan menunjuk sebuah pohon jati.
"Pohon jati itu, kami beli bersama. Lalu kami tanam dan seringkali menjadi tempat berteduh untuk kami berdua" ujar ayah dari Fansuri.
"Benar, yah" jawab Citra untuk menyenangkan hati mertuanya.
"Tentu saja, Fansuri tidak pernah tahu" sahut ayah dari Fansuri. Dia menghela nafasnya, menghirup dan menghembuskannya. Fansuri berdiri dan mendekati sebuah pot bunga.
"Seringkali, kami berdua bercerita tentang cita-cita dan mimpi" terang ayah dari Fansuri.
"Bahkan, tidak jarang kami tertawa mengenang hari-hari selama dipenjara" lanjut ayah dari Fansuri, yang akhirnya berdiri mendekati putranya. Fansuri merasa canggung, dan menatap tajam ayahnya.
"Fansuri, kau memang lebih tua beberapa bulan. Dan, ketika itu Jaka menghadiahimu sebuah handuk yang bagus dan halus. Beliau menghadiahimu handuk terbagus yang pernah kurasa" terang ayah dari Fansuri yang akhirnya menatap kedua bolamata menantunya, Citra.
Mereka berjalan menuju taman belakang. Melewati tangga yangterbuat dari batu-batu Palimanan. Melalui sisi kiri rumah Jaka dan Fathimah yang telah tiada. Ada puluhan bunga, dari mawar dan melati. Warna-warni disisi taman yang sebelah kiri memang lebih indah, karena disisi kanan ada sebuah kolam yang cukup besar dan panjang. Aroma aneka bunga terasa hingga mereka melihat ibu dari Fansuri.
"Bu" sapa Citra dengan penuh harap dan kecap yang pasti.
"Oh, kalian... aku merasa segar duduk disini" jawab ibunda dari Fansuri yang tidak lupa menatap wajah suaminya. Fansuri segera duduk disamping ibunda. Citra hanya menunduk dan tetap berdiri.
Ayah dari Fansuri mengajak mereka semua kesisi kanan rumah yang berhias bambu-bambu dan sebuah kolam. Mereka berjalan lembut dan syahdu. Citra, Fansuri, dan Ibunda duduk ditepi kolam dengan kedua kaki didalam. Sementara, ayah dari Fansuri duduk disebuah kursi kayu yang berteman dengan sebuah meja dan kursi lainnya. Ayah dari Fansuri, mengambil kertas dan menulis sesuatu.
Ibunda dari Fansuri hanya tersenyum, mengenang masa-masa indah mereka.
Muhammad Hendra Saputra Mahadera
Alamat: Jl. Letnan Arsyad utara No. 34 Rt:001/016 Kayuringin Jaya. Bekasi