Selamat Datang di Blog Dina Cerpen

Share |

Cerbung Afandi Maulana

Santri 30 %
(Bagian Ke Enam)

Sejak terjadi kerusuhan dan perusakan di mana-mana, berdampak pada ekonomi di berbagai pelosok tanah air, yang di sebut-sebut banyak orang krisis moneter. Salah satu akibat dirasakan langsung oleh Zaedun, orang tua Zae bekerja sebagai Wiraswasta perbaikan kendaraan, karena harga-harga bahan perbaikan begitu mahal, dengan teramat terpaksa Ayah Zae menutup Usaha tersebut (Gulung Tikar).

“Zae, zae, zae…” teriak panggilan Nana dari kejauhan.

“ada apa Na?” Tanya Zae.

“Zae, kamu dapat surat nih, dari orang tua kamu” Nana mengulurkan tangan memberikan suratnya.

“terima kasih ya Na” jawab Zae, sambil melangkahkan kaki masuk kedalam kelas.

Begitu tiba waktu istirahat, Zae bergegas ke belakang sekolah, tempat biasa Zae menyendiri jika ada suatu hal yang sedang dipikirnya, dibacanya surat dari orang tuanya.

Teruntuk
Zaedun
di
Pesantren

Assalamu’alaikum wr, wb

Zaedun sebelumnya Bapak minta maaf, bukan maksud bapak mengganggu belajar Zaedun di pesantren. Bapak ingin kasih kabar, kalau sekarang untuk sementara bapak belum bisa kirim kamu uang, tapi insya allah bapak akan coba usahakan. Zaedun, usaha bapak terpaksa gulung tikar, ya Zae mungkin paham, peristiwa kerusuhan itu membuat barang-barang mahal, yang akhirnya bapak tidak bisa usaha lagi. Kamu yang sabar, insya allah ada jalan keluarnya. Wassalamu’alaikum wr, wb

Zaedun begitu lesu setelah baca surat dari orang tuanya, hampir satu jam Zaedun di belakang sekolah, seharusnya setengah jam yang lalu Zaedun sudah harus masuk ke kelas. Akhirnya Zaedun memutuskan minta izin pulang dengan alasan sakit kepala.

“Zae, kenapa? Kamu sakit” Tanya Nana dengan heran.

Zaedun tidak menjawab pertanyaan Nana dan meninggalkan kelas dengan lemas dan cemas.

Zae dengan hati yang masih terpukul, mencari tempat yang bisa menenangkan hatinya, dan bisa berfikir jernih.

“yah sawah itu ada gubuknya, mungkin aku bisa beristirahat sejenak sambil berfikir di sana” bathinya.

Angin mengusap perlahan-lahan tubuh Zae, duduk memandangi padi yang hijau, burung-burung, dan gemericik air di selokan, hatinya sudah mulai sedikit tenang dan Zae sudah bisa sedikit untuk berfikir jernih.

“ hidup itu perjuangan, aku harus berjuang demi hidup dan cita-cita, ah untung saja aku masih punya tabungan mungkin cukup untuk sebulan ke depan, aku harus cari jalan keluar”.

Zae beranjak pulang ke Asrama karena waktu shalat dzuhur telah tiba, walau sudah terasa tenang, tapi wajah Zae masih terlihat tanda tanya, hingga membuat temen sekamar bertanya-tanya, Zae yang biasa masuk kamar dengan mengucap salam, samasekali tak terdengar sepatah katapun, bahkan meninggalkan kamar sekalipun.

"ada apa yah dengan Zaedun, kok sepertinya lagi punya masalah, ooh jangan-jangan setelah terima surat yang tadi, ah biar nanti saja aku tanya kalau sudah merasa tenang” bathin Nana.

Sore harinya Zaedun terlihat buru-buru keluar asrama, tanpa sepatah katapun.

“Zae, kemana?,” teriak Nana begitu perhatian.

“eh Na, maaf yah, aku mau keluar gerbang, kamu mau ikut?” jawab Zaedun sangat pelan.

“emm boleh aku ikut Zae” kata Nana, bergegas keluar.

“Zae, kamu punya masalah apa? cerita dong ke aku, barang kali saja aku bisa bantu” desak Nana.

Zae terdiam sejenak kemudian menjawab “ Na, orang tua aku sudah tidak bekerja lagi, tapi ngga masalah, terima kasih ya perhatiannya Na” terang Zae begitu pendek.

“kok, ngga masalah Zae, kamu kalau butuh bantuan bilang aja, aku mungkin bisa bantu kamu, kita kan disini sudah seperti saudara, kalau salah satu diantara kita mengalami musibah, sudah sepatutnya diantara kita saling membantu, bukankah waktu Rulli, terkena musibah kita semua ikut prihatin?” kata Nana.

“ia, Na aku jadi ingat Rulli, sudah setahun ini kita ngga pernah tahu kabarnya” jawab Zae mengalihkan pembicaraan dan di lanjutnya lagi.

“ Na, aku ngga mau nyusain semua orang terdekat aku, aku sudah membuat susah orangtua aku, membiayai aku sampai mondok di pesantren ini. Aku kira itu pengorbanan yang sangat besar dan aku ngga bisa ngebales semua pengorbanan itu kecuali do’a."

"Aku siap Na, menghadapi kenyataan hidup ini, bukankah hidup itu perjuangan” ucap Zaedun kemudian senyum dan berkata dengan penuh keyakinan.

”inilah saatnya aku berjuang dengan sesungguhnya” sambil merangkul pundak Nana.

“oke deh, tapi kalau kamu lagi butuh atau perlu apa saja selagi aku bisa bantu, kamu ngomong ke aku ya Zae” kata Nana.

“ia,ia….” Nana dan Zae tertawa riang.

“memang sebenarnya kamu mau kemana Zae?” tanya Nana.

“ooh aku mau cek buku tabungan aku, terus mau aku tutup, buat bayar uang makan bulan ini” jawab Zae pendek.

"
Setelah pulang mengaji, Zae tidak langsung ke asrama, ia menuju kantin yang berada di belakang asrama, Zae bermaksud mengajukan diri bekerja di kantin paruh waktu. Kantin itu sudah ada sebelum Zae mondok di pesantren, dan sudah tidak asing lagi buat Zae, karena Zae sering jajan atau sekedar duduk-duduk di kantin , pemilik kantin itu juga sudah lama mengenal Zae.

“assalamu’alaikum Mas” ucap Zae.

“wa’alaikum salam, baru pulang ngaji Zae?” tanya Mas Tono pemilik kantin.

“ia Mas, em…Mas, saya mau minta bantuan, begini Mas, bisa ngga saya kerja di kantin paruh waktu, sesudah pulang sekolah sampai sebelum magrib" tanya Zaedun.

“memang kenapa mau bekerja, bukannya kamu lagi pesantren?” jawab Mas Tono.

“begini Mas, orang tua saya sudah tidak bisa lagi kirim uang, karena krisis kemarin jadi orang tua saya kehilangan pekerjaan” jawab Zae.

“oooh, orang tua kamu memang kerja apa Zae?”.

”wiraswasta Mas, buka bengkel” jawab Zae pendek dan pelan.

”ia deh boleh, kamu sudah makan belum?” kata Mas Tono.

“terima kasih Mas, terima kasih” jawab Zae tanpa memperhatikan tawaran Mas Tono.

"kapan Mas saya mulai bekerja?” tanya Zae.

“ besok juga boleh, kamu bisa kan?” kata Mas Tono.

“bisa Mas, bisa, ia insya allah setelah shalat dzuhur saya ke kantin, terima kasih ya Mas” hati Zae berbunga-bunga.

“ ia, ia….kamu makan dulu Zae” tawar Mas Tono kembali.

“ia Mas, terimakasih, tadi saya sudah makan, saya ke asrama dulu ya Mas, assalamu’alaikum”

"wa'alaikum salam" jawab Mas Tono menggeleng-gelengkan kepala.

Zae meninggalkan kantin, dan hatinya berkata :

“Alhamdulillah ya Allah engkau maha pemberi jalan".

"Bapak, Ibu, jangan khawatirkan Zae, Zae baik-baik saja di sini”.


Readmore
Share |

Cerbung Afandi Maulana

Kau Ku Anggap Adik Atau Pacar
(bagian Pertama)



Acep Zamzam Noor


Menjadi Penyair Lagi

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin.
Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja kaca
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi.
Lalu kutulis puisi

Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, BH serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal

Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam

Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi


S
ebut saja Rangga, Rangga adalah bagian kehidupan, ia memiliki keinginan dan cita-cita seperti halnya mahluk lainnya yang memiliki akal. Rangga sebelum mengenal puisi, dan orang yang menulis puisi yang di sebut penyair, ia hidup dalam suasana pesantren, dan mempunyai cita-cita menjadi Kiai. Mungkin Takdir yang menentukan, hingga Rangga bisa-bisanya ada di tengah para penyair, dan baris puisi yang membingungkan.

Rangga sudah terbiasa mengikuti acara demi acara kesenian, pada awalnya acara yang diselenggarakan Komunitas Azan, Komunitas yang didirikan oleh singkatan komunitas itu sendiri, sebut saja Acep Zamzam Noor (A.ZA.N), yang berlangsung sangat sederhana, berupa diskusi yang dihadiri beberapa tokoh penyair, pemerintah setempat, dan masyarakat yang suka seni ataupun tidak suka.

Tahun 2008, SST mengadakan hajatan besar Lomba Baca Puisi seJawa Barat, yang di selenggarakan di kota Tasikmalaya, pesertanya bukan cuma dari daerah lokal, bahkan ada peserta dari Jawa Tengah yang mengemban pendidikan di Jawa Barat.

Rangga baru saja habis dari kamar mandi, di ruang tengah di penuhi orang yang sibuk dengan kesibukannya masing-masing, ada yang tidur-tiduran sambil mengobrol, ada yang lagi bikin nomor buat peserta lomba, ada yang genjreng-genjreng gitar, ada juga yang ramai diskusi masalah Plagiat dan sebagainya,

“wah,wah ramai sekali hari ini, Kang Badr, ada kopi ngga?” celetuk Rangga.

Kang Badr adalah Senior di SST, selain pengurus di Sanggar, juga adalah Penyair terkenal.

“apa Rang, Kopi? oh ia, ia pesen aja di warung depan, bilang aja pesanan saya”.

Rangga bergegas, ingin pesan kopi, begitu di depan pintu, terdengar ucapan salam.

“assalamu’alaikum” tiga orang bertamu, dua wanita satu lagi lelaki.

Sepertinya masih SMA, entah mau daftar menjadi peserta lomba atau hanya sekedar berkunjung saja.

“wa’alaikum salam silakan kedalam, kedalam…” jawab Rangga.

Sanggar Sastra Tasik yang beralamat di jln. Argasari Tasikmalaya, kerap kali dikunjungi banyak orang, dari kalangan seniman, pelajar, kecuali politik, soalnya di pintu tertempel Maaf Tidak Menerima Politik.

Malam gemerlap bintang, suasana teramat cerah, sebatang rokok terus mengepul dari mulut seniman, di temani segelas kopi, Rangga masih sibuk dengan pekerjaannya mempersiapkan nomor-nomor peserta, dan kartu buat panitia pelaksana Lomba Baca Puisi seJawa Barat, di bantu Kang Sarabunis, seorang seniman juga pebisnis yang handal, sedang di ruang depan seperti sedang diskusi, ada Kang Badr, yang jadi narasumber, dan tiga tamu yang tadi ketemu Rangga di depan pintu.

“Kang, yang tiga orang itu dari mana Kang?” tanya rangga pada Sarabunis.

“oh…masa kamu ngga tahu?, dari Cipasung anak SMAI Cipasung” jawab Sarabunis.

“mau jadi peserta ya Kang?” Tanya Rangga.

“ngga tahu, kamu tanya aja Rang, kenapa?” kata Sarabunis.

“ngga, cuma tanya aja”. Jawab Rangga.

“kamu naksir ya, hati-hati Rang” kata Sarabunis senyam senyum.

Sehari sebelum Lomba Baca Puisi di adakannya Karnaval, peserta Karnaval turun dari berbagai Komunitas dan pemerintahan, pelajar juga masyarakat, serta komunitas-komunitas seni lainnya, yang hadir dari berbagai daerah.

SEPANJANG JALAN KARNAVAL

Suara gamelan yang ditabuh
Adalah senandung doa
Menyambut kegembiraan, dinanti sekian lama
Dan kota seketika kembali pada raga
Kita berbondong-bondong menuju lembah syurga;

Di dada

Sungai-sungai susu merobohkan dahaga
Buah-buahan bergantungan di muka kita
Bidadari siap disenggama
Di bawah deras hujan yang menggema
Kita berbondong-bondong menuju lembah syurga;

Di dada

Lelah seperti tidak lagi berada
Mungkin kita sudah mati rasa
Rasa kita adalah bahagia
Gelisah kita adalah berkarya
Bersetubuhlah di sepanjang jalan karnaval

Hari ini mesti lelah dan di guyur hujan Rangga merasa ada kegairahan, entah itu bahagia dalam acara, mungkin juga ada wanita yang di rasa dalam dada.
Readmore
Prev Next Next


Copyright @ 2011 By. Dina Cerpen