Selamat Datang di Blog Dina Cerpen

Share |

Cerbung Afandi Maulana

Kau Ku Anggap Adik Atau Pacar
(bagian Pertama)



Acep Zamzam Noor


Menjadi Penyair Lagi

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin.
Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja kaca
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi.
Lalu kutulis puisi

Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, BH serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal

Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam

Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi


S
ebut saja Rangga, Rangga adalah bagian kehidupan, ia memiliki keinginan dan cita-cita seperti halnya mahluk lainnya yang memiliki akal. Rangga sebelum mengenal puisi, dan orang yang menulis puisi yang di sebut penyair, ia hidup dalam suasana pesantren, dan mempunyai cita-cita menjadi Kiai. Mungkin Takdir yang menentukan, hingga Rangga bisa-bisanya ada di tengah para penyair, dan baris puisi yang membingungkan.

Rangga sudah terbiasa mengikuti acara demi acara kesenian, pada awalnya acara yang diselenggarakan Komunitas Azan, Komunitas yang didirikan oleh singkatan komunitas itu sendiri, sebut saja Acep Zamzam Noor (A.ZA.N), yang berlangsung sangat sederhana, berupa diskusi yang dihadiri beberapa tokoh penyair, pemerintah setempat, dan masyarakat yang suka seni ataupun tidak suka.

Tahun 2008, SST mengadakan hajatan besar Lomba Baca Puisi seJawa Barat, yang di selenggarakan di kota Tasikmalaya, pesertanya bukan cuma dari daerah lokal, bahkan ada peserta dari Jawa Tengah yang mengemban pendidikan di Jawa Barat.

Rangga baru saja habis dari kamar mandi, di ruang tengah di penuhi orang yang sibuk dengan kesibukannya masing-masing, ada yang tidur-tiduran sambil mengobrol, ada yang lagi bikin nomor buat peserta lomba, ada yang genjreng-genjreng gitar, ada juga yang ramai diskusi masalah Plagiat dan sebagainya,

“wah,wah ramai sekali hari ini, Kang Badr, ada kopi ngga?” celetuk Rangga.

Kang Badr adalah Senior di SST, selain pengurus di Sanggar, juga adalah Penyair terkenal.

“apa Rang, Kopi? oh ia, ia pesen aja di warung depan, bilang aja pesanan saya”.

Rangga bergegas, ingin pesan kopi, begitu di depan pintu, terdengar ucapan salam.

“assalamu’alaikum” tiga orang bertamu, dua wanita satu lagi lelaki.

Sepertinya masih SMA, entah mau daftar menjadi peserta lomba atau hanya sekedar berkunjung saja.

“wa’alaikum salam silakan kedalam, kedalam…” jawab Rangga.

Sanggar Sastra Tasik yang beralamat di jln. Argasari Tasikmalaya, kerap kali dikunjungi banyak orang, dari kalangan seniman, pelajar, kecuali politik, soalnya di pintu tertempel Maaf Tidak Menerima Politik.

Malam gemerlap bintang, suasana teramat cerah, sebatang rokok terus mengepul dari mulut seniman, di temani segelas kopi, Rangga masih sibuk dengan pekerjaannya mempersiapkan nomor-nomor peserta, dan kartu buat panitia pelaksana Lomba Baca Puisi seJawa Barat, di bantu Kang Sarabunis, seorang seniman juga pebisnis yang handal, sedang di ruang depan seperti sedang diskusi, ada Kang Badr, yang jadi narasumber, dan tiga tamu yang tadi ketemu Rangga di depan pintu.

“Kang, yang tiga orang itu dari mana Kang?” tanya rangga pada Sarabunis.

“oh…masa kamu ngga tahu?, dari Cipasung anak SMAI Cipasung” jawab Sarabunis.

“mau jadi peserta ya Kang?” Tanya Rangga.

“ngga tahu, kamu tanya aja Rang, kenapa?” kata Sarabunis.

“ngga, cuma tanya aja”. Jawab Rangga.

“kamu naksir ya, hati-hati Rang” kata Sarabunis senyam senyum.

Sehari sebelum Lomba Baca Puisi di adakannya Karnaval, peserta Karnaval turun dari berbagai Komunitas dan pemerintahan, pelajar juga masyarakat, serta komunitas-komunitas seni lainnya, yang hadir dari berbagai daerah.

SEPANJANG JALAN KARNAVAL

Suara gamelan yang ditabuh
Adalah senandung doa
Menyambut kegembiraan, dinanti sekian lama
Dan kota seketika kembali pada raga
Kita berbondong-bondong menuju lembah syurga;

Di dada

Sungai-sungai susu merobohkan dahaga
Buah-buahan bergantungan di muka kita
Bidadari siap disenggama
Di bawah deras hujan yang menggema
Kita berbondong-bondong menuju lembah syurga;

Di dada

Lelah seperti tidak lagi berada
Mungkin kita sudah mati rasa
Rasa kita adalah bahagia
Gelisah kita adalah berkarya
Bersetubuhlah di sepanjang jalan karnaval

Hari ini mesti lelah dan di guyur hujan Rangga merasa ada kegairahan, entah itu bahagia dalam acara, mungkin juga ada wanita yang di rasa dalam dada.
Prev Next Next

Copyright @ 2011 By. Dina Cerpen