Ya, Maha Pencipta Segala Adegan,
Teperdaya atau memperdaya
Menjadi sah-sah saja!
BAHKAN untuk malam ini. Malam ketika sebagian gelapnya tergores oleh sekelebat bayangan tubuh tegap yang mengendap-endap, menyelinap dalam gelap. Gerakannya yang cepat begitu melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Sebuah gerakan yang sulit ditangkap oleh mata biasa. Dua orang prajurit penjaga kamar Akuwu Tunggul Ametung hanya merasakan desir angin tipis menerpa wajah mereka. Menebarkan rasa kantuk yang teramat sangat. Kabut dini hari seolah membantu membiaskan sosok tegap itu hingga dia leluasa membuka pintu kamar hanya dengan sekali embusan napas. Sebilah keris yang terselip di pinggangnya memantulkan sinar kuning keemasan begitu tertimpa serpihan cahaya bulan yang lolos dari celah daun semboja.
Iyem, emban tua pengasuh setia Dedes, sedang terlelap di biliknya ketika sosok itu meloloskan tubuh tegapnya memasuki kamar dalam sekali lompat. Dua manusia dengan napas memburu, berbasuh keringat meski dingin menulang begitu menggigit. Sosok itu perlahan meraba keris yang terselip di pinggangnya. Sepasang matanya tampak begitu nyalang di bawah remang nyala pelita yang terselip di dinding kamar. Sorot mata yang lebih dulu menusuk tajam ke sosok Tunggul Ametung yang masih lelap dengan dengkurnya. Tunggul Ametung yang juga sedang diresahkan Iyem dalam mimpinya.
Malam itu, Iyem merasa sedang berdiri gemetar di puncak menara. Tempat biasa Tunggul Ametung bersemadi. Tatapannya terpana melihat Tumapel yang berubah menjadi sebuah lautan berwarna merah kental. Sangat luas. Dan Tunggul Ametung yang masih lelap, tampak tak berdaya dalam pusaran arus hingga tenggelam tak tersisa. Ingin rasanya Iyem menarik tubuh nahas itu. Namun derasnya arus seolah mematok kakinya begitu kuat. Tenggorokan Iyem seperti tercekik. Suaranya hanya sebatas sengal yang tertahan. Alunan bunyi yang hampir serupa dengan dengkur Tunggul Ametung yang segera berubah menjadi lenguhan pendek ketika sebilah keris bersarang tepat di dadanya. Seulas senyum segera merekah pada bibir sosok tegap yang kini tengah mengelapkan ujung keris pada ujung kain yang dikenakan Tunggul Ametung. Malam segera hening dan mencekik. Bulan sabit di atas langit sana tampak berkilau keperakan. Indah namun terasa mencekam.
***
MALAM sudah merambat menjauhi larut. Embun mulai mengental, melayang- layang menempel di dedaunan. Di dalam, kamarnya, Iyem merapikan rambutnya yang terurai kusut. Mimpi itu telah memaksanya merampungkan tidurnya malam itu lebih cepat. Beberapa pikiran buruk segera saja berlompatan dari kepalanya.
Sebuah ketukan pelan di pintu kamarnya memecahkan kesunyian malam di kompleka kaputren. Iyem bergegas memburu pintu dan membukanya. Sebuah wajah gelisah muncul di depannya. Icih, emban muda yang bertugas menyiapkan kebutuhan jasmani Dedes, mengangguk hormat sebelum berbicara.
"Ketiwasan, Mbakyu, ketiwasan! Gusti Tuan Tunggul Ametung..." emban muda itu tidak mampu meneruskan kata-katanya. Tapi air matanya lebih fasih menerjemahkan kata-kata yang akan dia ucapkan selanjutnya.
"Bagaimana dengan Tuan Putri?"
"Beliau masih belum juga keluar dari kamarnya."
"Siapkan saja air hangat untuk mandi Tuan Putri. Antarkan ke kamarnya, aku juga langsung ke sana!"
Icih mengangguk pelan, lantas bergegas meninggalkan Iyem yang masih terpaku di pintu.
"Oalah, Gusti Hyang Widi. Semoga ini bukan sasmhita buruk," dengus Iyem harap-harap cemas. Matanya nanar menatap beberapa prajurit Pakuwon yang melangkah tergesa-gesa menuju kamar Tuan Akuwu Tunggul Ametung. Sebuah nama terlontar dari bisik-bisik yang dia dengar: Arok!
Iyem berdebar. Langkahnya bergetar menuju bilik kamar Dedes. Meyakinkan bahwa apa yang telah terjadi bukanlah wujud kutuk sumpah Binahut Angeris-nya Mpu Parwa, ayah majikannya itu.
***
KAU masih belum bisa memicingkan mata ketika desah napas Iyem terdengar lirih di luar kamar. Separuh perasaanmu mengharapkan agar bisa segera terlelap. Separuh lagi mencubit-cubit dengan kesal agar kau tetap terjaga. Kesenyapan telah merenggutmu pada pengembaraan batin yang tak kunjung berujung. Pertemuanmu dengannya malam tadi masih menyisakan keringat berahi yang bersarang di sekujur tubuh, meresap melalui pori-pori hingga menembus di kedalaman hati. Memberikan rasa damai yang sesak. Atau sesak yang membuat damai. Membuncahkan kejujuran yang selama ini terpendam begitu dalam: Arok memang laki-laki! Arok sungguh laki-laki!
Tapi naluri istri tak bisa dimungkiri. Kau Sang Ardhanareswari, yang digilai laki-laki itu, masih belum bisa melupakan dengkur suamimu bila malam-malam dingin memerlukan dekapanmu untuk menghangatkan tubuh tambunnya. Bahkan ketika laki- laki itu meninggalkan tubuhmu malam tadi dengan keresahan yang melelahkan. Bayang wajah suamimu seakan mengusikmu untuk segera menuntaskan gelora kenikmatan yang kautemukan dalam dekapan laki-laki anak pungut Bango Samparan.
Tak ingin kemarahan suamimu meluapkan batas kesabaranmu, kau memang segera berkemas membenahi busanamu. Meski laki-laki itu masih menginginkan melumat betismu dengan tatapannya, kau tetap bergeming. Kau tak ingin lebih jauh menyerahkan sebagian miliknya di tubuhmu pada laki-laki itu meskipun dia sering menggunakan kekuasaannya sebagai suami dan penguasa Tumapel untuk memperkosamu. Sekian tahun kau mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, kau memang mulai memahami wataknya yang sangat takut kecewa.
Apa yang dia inginkan memang harus segera dikabulkan. Termasuk ketika menginginkanmu menjadi istrinya. Setra Panawijen yang tenang menjadi saksi bisu ketika dia memaksamu membawa ke Tumapel. Waktu itu kau sempat menolaknya dengan halus karena ayahmu, Mpu parwa, sedang tidak ada di rumah. Di benakmu tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya orang tua yang telah menjadikanmu lahir ke dunia itu mengetahui bahwa anak gadisnya diculik orang.
Tapi lagi-lagi dia memang laki-laki yang takut kecewa. Jumawanya sebagai penguasa telah membuatnya lupa bahwa hakiki perempuan tak bisa diajak serta diperkosa. Dan perasaan itulah yang kau pendam sekian lama hingga akhirnya di hutan Isaboji, kau melihat panglima baru di Tumapel pengganti Kebo Ijo itu melirik betismu yang tersingkap dengan ketakjuban yang teramat sangat. Darah mudanya yang mendesir bisa kaurasakan ketika tubuh tegapnya tampak begitu bergetar manakala kau mengulurkan tangan untuk minta bimbingannya turun dari kereta kuda. Kau tertawa dalam hati, merayakan kemenangan yang selama ini jarang kaudapatkan. Dan kau mengingat semua itu sebagai awal getar di hatimu menghadapi sosok laki-laki. Ketika kau tidak lagi diperdaya oleh desah penguasa, melainkan rasa cinta.
***
AKU memang perampok. Sejak awal kelahiran, alam telah menyenandungkan kidung perampok sebagai pengantar tidurku. Tempat tinggalku yang beralaskan bumi dan beratapkan langit menjadikan aku bebas berkuasa atas segala yang ada di dunia. Termasuk memiliki jiwa dan ragamu. Kau perlu tahu bahwa mataku mulai capek ketika terus-menerus mencuri lihat betismu di alas Isaboji. Darah berahi memang tak bisa diajak kompromi untuk memilikimu. Dan sejak itu, aku memang telah berniat untuk merampok kamu!
Kekasihku, jangan pernah sesalkan keringat yang telah tumpah karena rasa yang murni dari hati. Aku ingin kau terus menari di hadapanku sepanjang siang dan malam, menurunkan garis keturunan yang berjaya di masa depan. Paman Loh Gawe telah membisikkan sasmhita-nya tentangmu, wahai Sang Ardhanareswari! Kemarilah, dekaplah kehangatan tubuhku, bukankah ini yang selalu kauimpikan? Bertahun kau menderita. Mari agungkan cinta, gerakkan sukma. Hakiki istri segeralah tinggalkan pergi. Ayo sayang, kita terbang. Izinkanlah aku merampok hatimu dengan ketulusan jiwa perampok.
***
SUDAH hampir pagi, Iyem masih juga terjaga di depan pintu kamar Dedes. Ia duduk gelisah. Matanya yang memendam kantuk mengatakan ada sesuatu yang senantiasa bergemuruh di balik pintu kamar itu. Sesuatu yang lembut tapi tidak beraturan. Seperti suara hatinya sendiri. Beberapa butir keringat meluncur pelan dari keningnya ketika beberapa prajurit Pakuwon tampak menggelandang Kebo Ijo ke arah tempat pengadilan. Prajurit-prajurit yang tampak begitu liar di matanya. Ingatannya segera berlompatan ke hutan larangan tempat Arok dan anak buahnya melancarkan aksi rampoknya.
Derit pintu mengagetkan lamunannya. Sesosok tubuh muncul begitu rapuh. Dedes yang rapuh. Kelelahan begitu tampak di matanya yang hampa menerawang. Membiaskan keraguan di hati Iyem untuk membuka percakapan. Dia tak ingin mengeruhkan suasana saat itu bahkan dengan gerak tubuhnya sekalipun. Dan seperti menyampaikan pesan yang mendalam, Dedes hanya membimbing perempuan tua itu untuk berdiri. Ditatapnya mata yang mulai keriput itu penuh keteduhan.
"Arok memang laki-laki! Arok sungguh laki-laki...!" desisnya lirih. Air matanya menitik.
Keterangan:
- Inspirasi bebas dari pementasan teater dengan lakon Dedes karya/sutradara Aan Sugianto Mas dari kelompok Teater SADO Kuningan, di GK Rumentang Siang, Bandung, tanggal 20 Oktober 2001.
- Binahut Angeris: Kutukan yang dilontarkan Mpu Parwa ketika mengetahui Dedes dibawa paksa oleh Tunggul Ametung yang isinya menjelaskan bahwa barang siapa yang telah menculik putrinya, ia akan mati karena tikaman keris, dan istrinya diambil oleh yang membunuhnya.
- Sang Ardhanareswari: Pamor yang terpancar dari kewanitaan Dedes, yang biasanya dijelaskan dengan sinar yang terpancar dari betis.
- Setra Panawijen: Tempat kediaman Mpu Parwa, letaknya di sebelah utara Malang.
- Isaboji: Hutan tempat Dedes bertamasya dengan Tunggul Ametung.
D. Ipung Kusmawi, lahir di Kuningan, 18 November 1978, alumnus Universitas Kuningan, aktivis Teater SADO Kuningan dan bergiat di Penerbit Silalatu Kuningan. Kini staf pengajar SMAN 1 Susukan, Cirebon.